Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak efektif dalam mengawasi industri keuangan dalam negeri. Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad meminta Presiden Joko Widodo turun langsung mengawasi sektor keuangan akibat lemahnya pengawasan OJK hingga maraknya kasus gagal bayar. Menurut Tauhid, OJK tidak cukup efektif mengawasi industri keuangan yang semakin membesar dengan beban yang semakin berat.
"Titik titik kritis kelemahan OJK perlu mendapat perhatian serius, sehingga kejadian Jiwasraya tidak lagi berulang, khususnya pada perbagai praktik moral hazard dari industri keuangan kita. Karena itu, butuh refomasi industri keuangan dari sisi regulasi, sistemnya, kelembagaan dan tentu saja sumberdaya manusia," ujarnya, Kamis (25/6/2020). Selain itu juga, penting untuk dibentuk tim pengawas dan supervisi yang independen serta bersifat early warning system, tidak hanya terkoneksi dengan KSSK, namun juga ke Presiden secara langsung. "Kalau bobotnya sudah sangat besar dan sulit ditangani OJK maka mau tidak mau Presiden harus turun tangan. Satu di antaranya yaitu evaluasi apa yang sudah dilakukan OJK selama ini," kata Tauhid.
Dia menambahkan, evaluasi yang dimaksud ialah terkait dengan apa saja yang sudah dilakukan OJK selama ini, tapi belum efektif pada level implementasi. "Saya lihat ada pengaruhnya, khususnya persepsi investor bahwa pengawasan yang dilakukan OJK masih belum optimal. Kalau industri keuangan sendiri saya kira sebagian besar solid," pungkasnya. Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya.
Kejaksaan Agung RI menetapkan tersangka baru dalam kasus mega korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada Kamis (25/6/2020). Selain menetapkan 13 korporasi sebagai tersangka, mereka juga menetapkan seorang pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai tersangka. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan satu tersangka baru yang telah ditetapkan tersangka adalah Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal 2 Periode 2017 hingga sekarang yang berinisial FH.
"1 orang tersangka dari OJK. Atas nama FH, pada saat itu yang bersangkutan menjabat sebagai kepala departemen pengawasan pasal modal II periode 2014 2017," ucap Hari saat ditemui di gedung bundar Jampidsus Kejagung RI, Kamis (25/6/2020). "Kemudian yang bersangkutan diangkat sebagai deputi komisioner pengawasan pasar modal II periode 2017 sekarang," kata Hari. Ia mengatakan, tersangka memiliki peran dalam jabatannya sebagai pejabat OJK dalam kasus dugaan korupsi Jiwasraya.
"Peran dari tersangka ini dikaitkan dengan tugas dan tanggungjawabnya di jabatan itu dalam pengelolaan keuangan yang dilakukan di PT Asuransi Jiwasraya," katanya. "Termasuk perbuatan yang dilakukan para tersangka yang sudah disidangkan dalam mengelola keuangan Jiwasraya," jelasnya. Dia menambahkan, pelaku dijerat dengan pasal pasal 2 subsider pasal 3 UU 31 1999 Jo UU tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.
Namun hingga kini, pelaku belum dilakukan proses penahanan. "Sementara FH belum ditahan. Dia masih berada di Jakarta," pungkasnya. Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung RI menetapkan tersangka baru dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada Kamis (25/6/2020).
Kali ini, mereka menetapkan 13 korporasi sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Demikian disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono saat ditemui di gedung bundar Jampidsus Kejagung RI, Kamis (25/6/2020). "Kami mengambil kesimpulan untuk menetapakan tersangka baru. Dalam perkara dugaan tipikor penyahgulanaan di PT asuransi Jiwasraya. Penetapan tersangka tersebut yang pertama terhadap 13 korporasi atau di dalam peraturan OJK disebut manajer investasi," kata Hari.
Rinciannya, korporasi dengan inisial DN, OMI, TPI, MD, PAM, MNC, MAM, GAP, JCAM, PAAM, CC, TFI dan SAM. Menurut Hari, korporasi tersebut diduga telah merugikan negara hingga Rp 12,157 triliun. "Kerugiannya diduga sekitar Rp 12,157 triliun," jelasnya.
Lebih lanjut, Hari mengatakan, korporasi tersebut terlibat dalam kasus korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 subsider pasal 3 UU 31 1999 Jo UU tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Selain itu, korporasi itu juga dijerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus Jiwasraya. "Jadi 13 manajer investasi ini diduga melakukan tindak pidana korupsi dan tadi penyidik juga menyangkakan dugaan TPPU," pungkasnya.