Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PDIP, Gembong Warsono menyampaikan kritik soal revitalisasi Monas. Lantas, ia pun menyoroti banyaknya pohon di wilayah Monas yang ditebang demi mempercantik monumen bersejarah itu. Melalui tayangan YouTube Talk Show tvOne , Senin (3/2/2020), Gembong Warsono mulanya mengungkap dua kesalahan dalam revitalisasi Monas.
"Ya yang pertama soal izinnya, yang kedua soal nebangin pohon itu," ucap Gembong. Lantas, ia pun menyinggung pernyataan Anies Baswedan soal cara menanggulangi banjir. Gembong menilai, revitalisasi Monas tak sesuai dengan pernyataan Anies Baswedan tersebut.
"Pak Anies kan selalu menyampaikan air yang yang turun dari atas itu kita tangkap lalu dimasukkan ke dalam perut bumi," ujar Gembong. "Yang suruh nangkep siapa kalau pohonnya enggak ada?" Terkait hal itu, ia pun mengimbau Anies Baswedan untuk tak terus membohongi rakyat Jakarta.
Menurutnya, tak masuk akal jika revitalisasi Monas dilakukan dengan memindahkan pohon pohon besar di sana. "Enggak, jangan bohongi rakyat to, rakyat Jakarta itu sudah cerdas cerdas kok," ucapnya. "Anda bisa bayangkan memindahkan pohon sebesar itu di tempat lain memungkinkan enggak?"
Selain itu, Gembong juga menilai tak mungkin jika pohon besar di sekitar Monas bisa dipindah ke daerah lain. "Saya ini orang kampung yang tahu pohon, pohon itu pakai akar tunggang," bebernya. "Enggak mungkin bisa dipindahkan pohon sebesar itu."
Lebih lanjut, Gembong lantas menyinggung soal konsep revitalisasi Monas. Menurutnya, sangat tak masuk akal jika revitalisasi dilakukan berdasarkan konsep yang dibuat itu. "Kemarin sudah diperlihatkan, jadi memang konsep yang ingin dikedepankan oleh pemprov ketika merevitaliasi adalah bagaimana menambah ruang terbuka hijau," ujarnya.
"Konsepnya itu, bagaimana saya akan percaya mau lebih hijau, lebih lebat, tapi sementara yang ada dipotongin?" Terkait hal itu, Gembong menyebut Anies Baswedan memulai revitalisasi dengan cara yang salah. "Yang jadi tanda tanya itu, memulainya itu yang salah," kata Gembong.
"Karena pohon yang di situ itu pohon sehat, kita lihat kok." Ahli Tata Kota Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar mengimbau pemerintah DKI Jakarta untuk segera melakukan evaluasi. Hal itu berkaitan dengan banjir yang merendam wilayah sekitar Jakarta dan sekitarnya pada awal 2020 lalu.
Karena itu, pemerintah perlu segera memikirkan cara menyelesaikan masalah tersebut. "Jadi menurut saya yang diperlukan sekarang ini pemerintah melakukan evaluasi secara total," ucap Jehansyah. "Bagaimana membuat Jakarta lebih tahan terhadap bencana."
Menurut Jehansyah, seluruh warga memiliki hak untuk bisa tinggal di tempat yang baik dan aman. Hal itu berlaku pula untuk warga Jakarta. "Kita perhatikan lagi lah Pasal 28 A, setiap warga negara itu berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat," ujar Jehansyah.
"Ini hak warga yang harus dipenuhi pemerintah." Lantas, Jehansyah pun menyinggung kemampuan Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta. Meskipun kualitas SDA DKI Jakarta sudah membaik dibandingkan sebelumnya, Jehansyah mengungkap masalah lain yang perlu segera dirampungkan.
"Dalam hal ini PUPR tadi bukan SDA saja, meskipun oke SDA sudah lebih baik sekarang," ucapnya. "Tapi ada permukiman di sana, Cipta Karya namanya, ada penyediaan perumahan di PUPR." Ia pun turut menyinggung permukiman warga di sekitar bantaran kali di Jakarta.
Menurutnya, keberadaan permukiman tersebut juga menjadi satu di antara penyebab banjir di Jakarta tak kunjung usai. "Ini lah yang belum bekerja secara maksimal, bagaimana program penataan permukiman di sepanjang bantaran 13 kali di Jakarta itu," kata Jehansyah. "Kalau ini semua ditata saya perkirakan ada lebih kurang 300 ribu keluarga akan terdampak."
Lebih lanjut, Jehansyah mengimbau pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah KI Jakarta yang sudah terlanjur bertumpuk tumpuk. "Dan ini hal yang harus disiapkan, jangan bilang 'Wah tidak realistis, masalah sudah terlalu berat'," ujar Jehansyah. "Ya masalah memang sudah bertumpuk tumpuk, berpuluh tahun masyarakat dibiarkan hidup di bantaran sungai," sambungnya.