Berikut Panduannya Umat Muslim Diimbau Menyegerakan Bayar Zakat Fitrah Saat Pandemi Covid-19

Saat ini dunia masih dilanda pandemi covid 19 ini, Kemenag mengimbau agar umat muslim menyegerakan pembayaran zakat fitrah. Bagaimana caranya? Imbauan membayar zakat segera ini demi membantu para mustahik untuk terpenuhi kebutuhan pokoknya di saat masa darurat Covid 19. Kementerian Agama (Kemenag) mengunggah tata cara membayar zakat fitrah saat pandemi virus corona atau Covid 19.

Menurut Kemenag RI, selain berpuasa menahan lapar dan haus di Bulan Suci Ramadan, bayar zakat fitrah tetap menjadi kewajiban ummat muslim. Lalu, bagaimana cara bayar zakat fitrah saat pandemi Covid 19? Kali ini, Kemenag RI berikan penjelasan mengenai tata cara bayar zakat fitrah saat pandemi virus corona melalui akun Instagramnya di @kemenag_ri.

"Reposted from @literasizakatwakaf . Salam #SahabatReligi, . Salah satu kewajiban yang harus ditunaikan selama bulan Ramadan adalah Zakat Fitrah. .

Di masa Pandemik Covid 19 ini, Kemenag mengimbau agar umat muslim menyegerakan pembayaran zakat fitrah. . Karena keberadaan zakat fitrah dapat membantu para mustahik untuk terpenuhi kebutuhan pokoknya di saat masa darurat Covid 19 ini. . Yuk, bayar zakat fitrah di awal bulan Ramadan, agar bisa lebih cepat didistribusikan dan dimanfaatkan oleh Mustahik. .

Oiya, magrib nanti kamu mau berbuka dengan apa? Jangan lupa bagi tetangga, agar semua orang dapat merasakan nikmatnya berbuka. . #ZakatFitrah #COVID19 #LiterasiZakatWakaf #BikinIndonesiaMaju #ramadan #Ramadhan #regrann" tulis akun Instagram @kemenag_ri dikutip Wartakotalive.com, Kamis (30/4/2020). Membayar zakat termasuk dalam rukun Islam yang ke empat.

Dalam bulan Ramadan, untuk semua umat muslim wajib membayar zakat fitrah sebelum salat Idul Fitri. Baik laki laki maupun perempuan, besar maupun kecil, tua maupun muda, bahkan bayi yang lahir di akhir bulan Ramadan sebelum matahari terbenam pun wajib mengeluarkannya. Hal tersebut karena zakat fitrah menjadi bagian ibadah yang menyempurnakan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Kewajiban zakat fitrah kepada setiap muslim ini, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW. Hal tersebut berdasarkan hadist Ibnu Umar bahwasanya, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, atas budak dan orang merdeka, laki laki dan perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum Muslimin.” (HR. Bukhari Muslim). Kemudian bagaimana dengan niat bayar zakat fitrah?

Berikut ini penjelasan Khasan Ubaidillah SPdI MPdI, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Institut Agama Islam Negeri IAIN Surakarta. Kata niat sendiri berarti itikad tanpa ragu untuk melaksanakan sebuah perbuatan. Meskipun itikad letaknya dalam hati, namun melafalkan niat secara lisan dapat menegaskan lagi keseriusan seseorang untuk melaksanakan sebuah ibadah.

Ada beragam cara untuk niat melakanakan zakat fitrah sesuai dengan konteks yang dilaksanakan. A. Niat zakat fitrah untuk diri sendiri Nawaytu an ukhrija zakaata al fitri ‘an nafsi fardhan lillahi ta’ala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri fardhu karena Allah Ta’ala.” B. Niat zakat fitrah untuk istri Nawaytu an ukhrija zakaata al fitri ‘an zaujati fardhan lillahi ta’ala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk istriku fardhu karena Allah Ta’ala.” C. Niat zakat fitrah untuk anak laki laki Nawaytu an ukhrija zakaata al fitri ‘an waladi fardhan lillahi ta’ala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak laki lakiku (sebutkan nama), fardhu karena Allah Ta’ala.” D. Niat zakat fitrah untuk anak perempuan Nawaytu an ukhrija zakaata al fitri ‘an binti fardhan lillahi ta’ala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak perempuanku (sebutkan nama), fardhu karena Allah Ta’ala.” E. Niat zakat fitrah untuk semua keluarga Nawaytu an ukhrija zakaata al fitri anni wa an jami’i ma yalzimuniy nafaqatuhum syar’an fardhan lillahi ta’ala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku dan seluruh orang yang nafkahnya menjadi tanggunganku fardhu karena Allah Ta’ala.” Siapa yang Menerima Zakat Lalu, siapa sajakah orang orang yang berhak menerima zakat tersebut?

Terdapat delapan golongan yang berhak menerima zakat pada bulan Ramadan. Delapan golongan itu antara lain: 1. Fakir: Adalah orang orang yang sama sekali tak harta.

2. Miskin: Adalah orang orang yang memiliki penghasilan namun tidak mencukupi keperluan sehari hari atau masih serba kekurangan. 3. Riqab: Adalah orang orang yang menjadi hamba sahaya atau budak orang lain. Budak merupakan orang yang bekerja pada orang laib tanpa diberi upah.

4. Gharim: Adalah orang orang yang memiliki banyak hutang. 5. Mualaf: Adalah orang orang yang baru saja memeluk menganut Islam. 6. Fisabillilah: Adalah orang orang yang tengah berjihad atau berjuang membela Agama Allah sesuai dengan jalan Nya.

7. Ibnu Sabil: Golongan Ibnu Sabil merupakan orang orang yang bepergian jauh dari rumahnya, seperti seorang Musyafir dan pelajar perantauan. 8. Amil Zakat: Panitia penerima dan pengelola dana zakat juga berhak mendapat zakat. Namun, dari beberapa golongan tersebut, orang orang yang fakir dan miskin lebih diutamakan untuk mendapatkan zakat.

Perselisihan ulama zakat fitrah dengan uang Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang.

Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan?

Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.

Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan.

Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus putus (tidak berturut turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.

Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)? Sebagaimana yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri.

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” (H.r. Al Bukhari dan Muslim) Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan perbuatan atau ucapan jorok ….”(H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al Albani) Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:

1. Adanya kewajiban zakat bagi anak anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. 2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan jorok.

Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang. Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah? Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana kafarah:

1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan. 2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73) Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.

Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al Hasan Al Bashri, Atha’, Ats Tsauri, dan Abu Hanifah. Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri, bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”

Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku menjumpai mereka (Al Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.” Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak). Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad.

Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka. Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al Mudawwanah Syahnun) Imam Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad Din Al Khash)

Sedangkan Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad Din Al Khash) Al Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al Mughni, Ibnu Qudamah) Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al Mughni, 2:671)

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’

Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.” (Al Mughni, Ibnu Qudamah, 2:671)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *